MENCARI ARTI KEBAHAGIAAN

Posted by cupskadek.blogspot.com | Posted in , | Posted on 04.10


Hidupnya tak lebih baik dari pengemis yang mengadu nasib di atas jembatan penyebrangan. Penghasilannya pun tak seberapa jika dibandingkan pengemis-pengemis itu. Rumahnya begitu sederhana. Beralaskan keramik di sebagian ruang depannya, dan sisanya masih beralaskan tanah. Atap yang bocor tepat di mana ia terbaring untuk melepas lelah setelah seharian mencari nafkah, seakan tak mengganggu ketenangan dalam tidurnya. Mungkin dalam hatinya terfikir, bahkan tersimpan keinginan yang kuat untuk mengganti atapnya yang bocor, tapi apa daya, uang yang terkumpul pun hanya cukup untuk membiayai sekolah anaknya dan biaya hidup sehari-sehari.

Seperti itulah gambaran tentang Ajun. Seseorang yang masih mau bekerja keras di tengah semakin bertambahnya popularitas pemalas yang aku fikir lebih layak untuk mati saja. Walau hanya ditemani gerobak kuning yang sudah mulai karatan dimana-mana, tapi semangat Ajun masih membara, hanya demi menafkahi anak dan istrinya.

Yah, anak istrinya lah yang membuat Ajun masih tergerak untuk mencari sesuap nasi dari mengumpulkan sampah penduduk di sekitarnya. Dalam fikirannya, hanya ada satu tanya yang rutin berkunjung setiap harinya. Apa jadinya jika ia masih seperti dulu?
Kehidupan Ajun di masa muda sangatlah beruntung. Ayahnya punya pabrik beras yang begitu maju. Paling tidak, di daerahnya pabrik beras itu adalah yang paling ramai dikunjungi. Ibunya membuka usaha catering yang cukup laris. Sayangnya Ajun terlalu lama terlena dalam kehidupannya yang nyaman. Masa mudanya ia habiskan untuk berjudi. Mungkin karena pengaruh lingkungan yang lebih kuat daripada petunjuk dari kedua orang tuanya, Ajun seakan tak punya keinginan untuk bertahan hidup lebih baik.


Kedua orang tuanya pun meninggal di usia Ajun yang masih muda, 23 tahun. Ajun pun mau tak mau harus melanjutkan usaha kedua orang tuanya. Sayang nasib Ajun tak semujur kedua orang tuanya. Pabrik Ayahnya dan usaha catering ibunya mesti berhenti di tengah jalan. Salah satu penyebabnya adalah hobi Ajun yang gemar berjudi. Yah, judi telah membuat Ajun terlilit hutang di sana-sini. Walau hutangnya sempat tertutup oleh penjualan pabrik ayahnya, tapi tak membuat Ajun sadar dan berhenti untuk berjudi. Hutangnya pun kembali menggunung, hingga akhirnya usaha catering ibunya pun ia jual dengan harga yang relatif murah. Tak berhenti sampai disana, Ajun pun harus menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya, karena hasil penjualan catering ibunya belum cukup melunasi hutangnya.

Akhirnya Ajun pun mengontrak rumah kecil di pinggiran kota Bandung. Kepindahannya ke kota kembang itulah yang membuatnya tersadar. Ia berusaha bangkit dari keterpurukannya dan meninggalkan hobi berjudinya itu. Namun di tengah usahanya untuk bangkit, kawan-kawannya sesama penjudi kembali hadir mengganggu niatan awalnya. Ajun pun tergoda dan kembali ke kehidupan lamanya.

Awalnya Ajun sempat merasakan “kebahagiaan” hasil dari usahanya kembali berjudi. Tapi itu semua tak berlangsung lama, karena setahun kemudian ia harus merelakan dirinya di usir dari kontrakannya. Dengan sisa uangnya, Ajun pun berusaha mencari penginapan yang jauh lebih murah dari kontrakannya dulu. Sayang, usahanya tak membuahkan hasil. Ia pun kembali ke kampung halamannya di Majalengka dan mencoba peruntungan yang lebih baik disana.

Beruntunglah si Ajun ini, di tengah kepulangannya kembali ke Majalengka ia bertemu dengan Ratih, seorang gadis Cirebon yang kini menjadi istrinya. Ratih lah yang membuat Ajun sadar sepenuhnya. Kecintaan Ajun kepada Ratih telah membuatnya menuruti apa yang Ratih perintahkan, termasuk menjadi pegawai Ayahnya Ratih yang memiliki usaha pengrajin kayu.

Hubungan Ajun dan Ratih pun berkembang lebih jauh. Benih-benih cinta pun tertanam didalam hati mereka masing-masing. Ajun yang telah berubah, menjadi sosok yang sangat dinantikan oleh Ratih. Kepolosannya, telah membuat Ratih seakan tak bisa lepas dari pandangannya. Begitu pula Ajun, Ratih yang berparas manis dan lembut ini telah menjadi malaikat penyejuk jiwanya. Ratih bagaikan bidadari penuntun jalan baginya. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Sayang, rencana mereka untuk menikah, tak mendapatkan restu dari kedua orang tua Ratih. Berkali-kali Ajun mencoba menunjukan kepada orang tua Ratih, bahwa ia pantas untuk menjadi pendamping hidup Ratih. Namun semakin besar usahanya, semakin kuat pula penolakan yang dilakukan oleh kedua orang tua Ratih. Ratih pun dihadapkan pada dua pilihan, Ajun atau orang tuanya.

Ratih pun memilih Ajun, dan ia lebih memilih untuk keluar dari hidupnya yang bergelimang harta itu. Ratih mengikuti jejak Ajun menuju Majalengka, dan disanalah mereka memulai hidup yang baru. Bersama-sama mereka membangun usaha kecil-kecilan. Di awali dengan membuka warung nasi di dekat pabrik ayahnya dulu. Tapi tak lama, usaha mereka gulung tikar. Ayahnya Ratih lah yang membuat usaha mereka bangkrut. Ayah Ratihlah yang diyakini mereka berdua telah membuka usaha resto, yang lokasinya jauh lebih dekat dengan pabrik ayahnya Ajun dulu. Pegawai pabrik pun lebih memilih untuk berkunjung ke resto, karena jaraknya yang lebih dekat meskipun harganya tak lebih murah dari harga yang ditawarkan warung nasi milik mereka.

Mereka pun berulang kali mencoba membuka usaha, namun selalu gagal, karena Ayahnya Ratih selalu membuka usaha tandingan yang selalu lebih baik dari usaha mereka. Ajun dan Ratih pun menyerah pada keadaan, dan membiarkan hidupnya hancur. Ratih sempat goyah pada keyakinannya untuk tetap bersama Ajun. Ratih sempat berdebat dengan Ajun begitu lama perihal keinginannya untuk meninggalkan Ajun dan kembali kepada orang tuanya. Tapi Tuhan memang sudah mentakdirkan untuk mempersatukan mereka. Di tengah kehancuran itu, ternyata Ratih mengandung anak Ajun. Ratih pun mengurungkan niatnya untuk kembali kepada orang tuanya dan memilih untuk tetap bersama Ajun.

Mereka sepakat untuk berpindah ke kota Bandung, tentunya dengan pelarian yang sebisa mungkin tidak di ketahui ayahnya Ratih. Di sinilah mereka mulai mendapatkan ketenangan tanpa gangguan dari ayahnya Ratih. Ajun pun mulai kembali bekerja, walau hanya sebagai pemulung sampah. Tapi dari usaha inilah, Ajun sejauh ini telah berhasil menafkahi anak dan istrinya. Meskipun pas-pasan, tapi mereka tetap terlihat bahagia.

Dalam setiap hati manusia pasti menginginkan kehidupan yang lebih layak, begitu pula Ajun, Ratih dan anaknya. Dalam hati kecilnya, mereka selalu meminta kepada Tuhan agar diberikan kehidupan yang lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan. Namun mereka tetap ikhlas pada keputusan Tuhan. Mereka sangat bersyukur dengan apa yang telah mereka dapatkan. Mereka begitu bersyukur memiliki anak yang telah menjadi jalan bagi mereka untuk tetap bersama. Itulah alasan mereka tetap bertahan sampai saat ini.

Pengakuan paling jujur dalam hatiku pun terkuak dari kisah ini. Bahwa kebahagiaan itu tak sepenuhnya didapat dari gelimangan harta, tapi kebahagiaan itu datang ketika orang-orang disamping kita adalah orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Kebahagiaan tak datang tanpa cobaan, melainkan begitu banyaknya cobaan, karena hikmah di balik cobaan itulah yang pada akhirnya akan menguatkan kita. Kebahagiaan itu adalah rasa syukur kita terhadap apa yang kita dapatkan, bukan apa yang kita inginkan.

Semoga artikel yang akan diikutsertakan ke dalam lomba Djarum Black Blog Competititon vol.2 ini, bisa memberi arti lebih untuk hidup anda.

Comments (0)

Posting Komentar

Find Your Future Here